Pemikiran Thomas Robert Malthus dan Pertumbuhan Populasi Masyarakat Kita

Pemikiran Thomas Robert Malthus dan Pertumbuhan Populasi Masyarakat Kita

Penetapan jumlah anak merupakan sebuah keputusan yang cukup penting dalam rumah tangga. Masyarakat harus menyadari bahwa penetapan jumlah anak merupakan perilaku ekonomi. Semua perilaku ekonomi perlu mendapat pertimbangan karena akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Tentu semua yang telah berkeluarga akan menyadari bahwa pengeluaran terbesar bagi rumah tangga berada kepada pemeliharaan anak. Semakin banyak jumlah anak yang di tanggung oleh sebuah keluarga akan semakin meningkatkan beban anggaran keluarga. Namun, banyak keluarga Indonesia tidak menyadari pentingnya penetapan jumlah Ideal. Akibatnya adalah masih saja pertumbuhan penduduk yang pesat menjadi sebuah momok bersama.

Sejak 1820, Thomas Robert Malthus (1766-1834) telah mengingatkan kita bahwa bencana terbesar di muka bumi akan diawali oleh ledakan penduduk. Malthus menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk terjadi mengikuti kaidah deret geometrik (2, 4, 6, 8, 16 dst) namun pertumbuhan produksi sumber daya mengikuti deret aritmatik (2, 4, 6, 8 dst). Pada akhirnya keterbatasan sumber daya akan melambungkan harga-harga. Manusia akan mengalami kemiskinan dan kelaparan akibat terbatasnya sumber daya yang bisa ditemukan disekitar mereka.

 

Advertisements

Seleksi Alam

Telah lama alam menjaga keseimbangannya dan manusia hadir sebagai sebuah anomali ditengah-tengah alam tersebut. Sebagian manusia berhasil menyatu dan berharmonisasi dengan alam, di lain sisi ada pula manusia yang gagal dan merusak alam. Alam telah memberikan pertanda ketika keseimbangan yang mereka jaga menjadi bergeser sedikit demi sedikit. Manusia yang di karuniai akal pikiran sudah seharusnya menangkap dan mengantisipasi fenomena alam tersebut jika ingin bertahan hidup.

BACA JUGA  Ada Apa Sesudah Corona ?

Saat ini alam sudah memberikan pertanda yang cukup keras akibat pertambahan jumlah manusia yang tak beraturan. Hal tersebut kita lihat dengan kejadian pemanasan global yang berdampak kepada kegagalan panen dan kelaparan. Ekplorasi alam yang berlebihan juga telah merusak sumber daya terbaharui (hutan, laut dls). Manusia semakin serakah dan sesuai ramalan Bernard de Mandeville (1670-1733) bahwa masyarakat serakah akan menemui kehancuran mereka sendiri.

Seleksi alam yang diperkenalkan Darwin (1809-1882) menjelaskan bahwa mahluk yang adaptif yang akan bertahan hidup. Adaptif bukan hanya berlandaskan kepada kekuatan fisik, teknologi atau sumber daya, namun juga kepada kemampuan berubah mengikuti kondisi alam. Alam kini telah meminta manusia mengurangi jumlahnya, jikalau manusia tidak pula menjawab seruan tersebut maka Alam akan membalas dengan cara yang cukup keras. Hal tersebut akan membawa umat manusia kepada kebinasaan.

Akhir dekade ini kita sepakat bahwa kerusakan alam yang semakin parah dan wabah penyakit yang terus bertumbuh menyaingi kecepatan penemuan vaksin. Belum lagi serangan hama di Afrika dan kegagalan panen di beberapa wilayah. Mungkin inilah jawaban keras alam untuk mengurangi jumlah populasi manusia. Alam kini sedang berusaha menyingkirkan umat manusia. Maka marilah kita mengontrol jumlah populasi dengan membatasi kelahiran dari keluarga kita.

 

Sebuah Pemikiran Kontra

Beberapa kalangan menolak pandangan ini dengan tetap berpegang pada “banyak anak maka banyak rezeki.” Pandangan yang dibangun pada masa agraria ini telah mendarah daging di masyarakat Islam terutama wilayah Asia. Peninjauan ulang atas pandangan ini sangat perlu untuk dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang.

BACA JUGA  Kepekaan Spiritual Sebagai Syarat Kesuksesan

Pandangan ini berlandas kepada hadist, “Dari Ma’qil bin Yasar, beliau berkata: Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Aku mendapatkan seorang wanita yang memiliki martabat dan cantik, namun ia mandul. Apakah aku boleh menikahinya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jangan!” Lalu ia mendatangi beliau kedua kalinya, dan beliau melarangnya. Kemudian datang ketiga kalinya, dan beliau berkata: “Nikahilah wanita yang baik dan subur, karena aku berbangga-bangga dengan banyaknya kalian terhadap ummat-ummat lainnya”. [HR Abu Dawud no. 2050, dan Syaikh al Albani bekata: “Hadits hasan shahih”. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud].

Perlu dipahami bahwa pandangan ini terjadi ketika masa umat Muslim menghadapi perang yang amat besar. Korban yang berjatuhan dalam perang perlu digantikan oleh para insan-insan baru untuk mempertahankan produksi didalam sektor ekonomi. Selain itu, pandangan ini bertumbuh di masa-masa agraria yang masih memberikan kesempatan besar kepada masyarakat mengeksplorasi alam. Tentu masa-masa ini telah berubah sedemikian jauh. Kecuali masyarakat kembali ke zaman berburu dan meramu.

Kini beberapa revolusi indsutri terlewati, yaitu revolusi hijau agraria, revolusi biru irigasi dan baru-baru ini kita dihadapkan revolusi teknologi informasi. Revolusi-revolusi ini berhasil membuka lapangan kerja dan bahkan mendorong produksi ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Namun, revolusi ini tetap ada batasnya dan tidak bisa mengimbangi pertumbuhan penduduk. Persaingan ekonomi semakin tinggi yang di iringi oleh naiknya angka kriminalitas.

BACA JUGA  Menginstall Optimisme Dalam Jiwa

 

Akar Pemikiran Tradisi

Ide “banyak anak adalah banyak rezeki” telah lama tumbuh secara alami di Indonesia. Sebenarnya, ide ini berakar kepada keinginan alami untuk mempertahankan ras di muka bumi. Bangsa Indonesia tentu berusaha untuk mempertahankan agar tanah air nya di isi oleh orang-orang dari kaumnya. Darah dari kaum tersebut membawa sejarah dan sejarah ini yang akan menandakan bahwa kita pernah ada di muka bumi.

Namun, kita harus menyadari bahwa banyaknya jumlah tidak bisa memastikan suatu kaum mampu bertahan di muka bumi. Banyak kita dapati dalam sejarah besar bangsa-bangsa kuno telah mampu membangun taman gantung dan menara tertinggi (Babilonia), piramid dan spinx (Mesir), menghidupi berjuta penduduk dalam kota-kota maju (Yunani, Sumeria, Romawi, Troya dls). Namun, mereka terhapus dalam sejarah dan penduduk mereka menyusut begitu saja.

Jika kita ingin mempertahankan kaum kita (Bangsa Indonesia dengan berbagai macam suku bangsanya) bukan dengan cara memperbanyak jumlah kita. Namun, beralih dari peningkatkan kuantitas kepada peningkatan kualitas para penduduknya dengan pendidikan dan riset. Hal ini seperti bangsa Israel yang jumlahnya sedikit mampu bertahan di lautan masyarakat Arab dengan teknologi dan kualitas SDMnya. Kini kita sadari era jumlah SDM sudah berubah menjadi era kualitas SDM. Kini sawah, pabrik dan perusahaan telah di isi oleh otomatisasi dan era kuantitas berubah menjadi era kualitas.

KATEGORI
TAGS
Share This

KOMENTAR

Wordpress (0)